Islam adalah agama
bimbingan, pemerintahan, politik dan hukum, sebab apa yang dibawa Islam atau
missi Islam ialah memperbaiki umat manusia dalam segala aspek kehidupannya
(seperti ideology, politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, dan militer,
pen.) Oleh karena itu sudah barang tentu
memerlukan pemerintahan, pegangan, hukum yang adil dan tegaknya kebenaran, juga
memerlukan perlengkapan untuk mempertahankan agama dan Negara.
Alloh telah
memerintahkan agar tindakan hendaklah bersifat social ( kejama’ahan atau dalam konteks gerakan
disebut dengan amal jama’i ). Dia
memerintahkan agar orang muslim berbuat kebajikan secara bersama sebagai satu
ummat. PerintahNya: “Hendaklah ada di
antara kamu satu umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan berbuat
ma’ruf dan mencegah segala bentuk kemungkaran.
Mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. 3/
104). Tak pelak lagi, bahwa ketentuan
Islam mesti dilaksanakan oleh kaum muslimin secara bersama sebagai satu
ummat. Quran berbicara tentang kaum
muslimin hampir senantiasa berbentuk jamak.
Maka jelaslah bahwa Islam memerlukan Negara dan tak dapat berbuat tanpa
itu. Seperti dikatakan oleh Muhammad
iqbal, Negara merupakan pernyataan spiritualitas Islam, perwujudan spiritualitas
itu dalam ruang dan waktu. Segi
terpenting hijrah ialah terciptanya Negara Islami. Negara adalah tujuan hijrah, dan hijrah
merupakan puncak persiapan dan pengislaman laki-laki dan perempuan serta
perjanjian aqobah.
Syaikh Ibnu Taymiyah rohimahullah
berkata: “Bahwa sesungguhnya tugas dan kewajiban yang paling utama bagi agama
adalah mengatur masyarakat, akan tetapi missi ini tidak akan tegak tanpa adanya
Negara. Oleh sebab itu, Allah
memerintahkan amar makruf nahi mungkar, mengajak kepada kebajikan dan melarang
segala bentuk kemungkaran, menolong orang-orang yang tertindas dan teraniaya,
termasuk juga kewajiban yang tak kalah pentingnya adalah menjunjung tinggi
kebenaran dan menegakkan keadilan dengan memberikan sangsi-sangsi hukum
terhadap pelaku tindak pidana dan kriminalitas.
Semuanya itu tak mungkin terlaksana dengan baik dan terarah tanpa adanya
kekuasaan yang diatur dalam bentuk pemerintahan.” Dengan demikian mendirikan Negara Islam
merupakan perkara penting demi tegaknya hukum-hukum (syari’at) Islam di bumi
ini.
Contoh praktis dari hal
ini adalah daulah ilmaniyah (Negara sekuler) yang didirikan Mustapha
Kamal at Taturk di Turki (selepas dihancurkannya Khilafah Utsmaniyyah tahun
1924, pen.) yang dipaksakan dengan tangan besi, api dan darah terhadap semua
rakyat turki yang beragama Islam, setelah membungkam Khilafah Utsmaniyah, yang
notabenenya adalah benteng politik terakhir bagi dunia Islam setelah sekian
lama bergelut melawan salibisme dan zionisme internasional.
Jalal Al Alam menyatkan
dalam bukunya “ Dammirul Islam wa ‘Abidu Ahlahu “ bahwa strategi
untuk menghancurkan Islam adalah menghancurkan pemerintahan Islam dengan cara
meruntuhkan Khilafah Islamiyah yang direpresentasikan Khilafah Turki Utsmany .
Maka perjanjian yang dibuat di Lausanne pada 20 Nopember 1922 antara Mustafa
Kemal At taturk dengan pihak Inggris berisi antar lain adalah komitmen untuk
menghancurkan Kekhalifahan Utsmany dan memutuskan hubungan dalam hal apapun
antara Turki dengan Islam . Dua tahun kemudian Khilafah Utsmani diberangus dan
sampai hari ini Turki tetap menjadi Negara Sekuler dan selalu memusuhi apapun
yang berbau Islam .
Kemudian pemerintahan
lain di dunia Islam meniru Turki yang baru dengan kadar yang berbeda-beda,
sehingga Islam disingkirkan dari hukum dan perundang-undangan mengenai masalah
tindak pidana, perdata dan lain-lainnya.
Islam dibatasi pada kondisi individual. Islam tidak boleh ikut campur
dan mempengaruhi dunia pengajaran dan pendidikan, serta masalah-masalah sosial
kecuali masalah-masalah yang remeh.
Sebaliknya, untuk tuntunan dari dunia barat dibukakan pintu
selebar-lebarnya.
Bahkan Pakistan yang
didirikan oleh Muhammad Ali Jinah, para pemimpinnya walaupun sering kali
meneriakkan Negara Islam, tetapi karena pendidikan dan jiwa mereka telah berkarat
dengan pengaruh kebudayaan barat, maka gambaran yang tertanam dalam benak
mereka tentang Negara hanyalah Negara yang bertumpu atas dasar kebangsaan saja
(nasionalistik) Artinya, bahwa pengaruh barat dalam paradigma
kenegaraan terhadap kaum muslimin sudah sedemikian kuatnya. Kita tahu, Pakistan atau india adalah
sama-sama bekas tanah jajahan inggris.
Konon sampai hari ini loyalitas Negara-negara mantan jajahan inggris
terhadap Britania raya (The Great Britain) terus dilestarikan dalam wadah
Commonwealth (Persemakmuran).
Di Indonesia,
pertarungan Islam dengan nasionalisme sudah dimulai sejak era pergerakan. Serikat Islam (yang lahir tahun 1905 dengan
nama Serikat Dagang Islam) dan menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia adalah
gerakan ummat Islam pertama yang menghasung ideology Islam (atau Pan Islamiet
sebagaimana yang disebut oleh HOS Tjokroaminoto, pen.). Di kalangan nasionalis lahirlah PNI (Partai
Nasional Indonesia) dengan terlebih dahulu lahir kelompok-kelompok kesukuan/
etnik sentrik seperti Jong Java, Jong Celebes, dan lain-lainnya. Serta tak kalah pentingnya peran Budi Utomo
(lahir 1908), yang mewariskan ajaran kejawen.
Pertarungan ideologis ini semakin mengental pada masa-masa menjelang
kemerdekaan.
Pada tanggal 9 april
1945, Badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan (BPUUPK) atau Dokuitsu
Zyunbi Tyoosakai dibentuk, untuk kemudian dilantik oleh pemerintahan militer
pendudukan jepang pada tanggal 28 mei 1945.
Hal ini adalah tindak lanjut dari janji Perdana Mentri Jepang, Koiso,
yang disampaikan dalam sebuah pidatonya pada bulan September 1944 di Jepang. Janjinya adalah akan memerdekakan Indonesia
di kemudian hari. Ketua BPUUPK adalah
Dr. Rajiman Widyaningrat, seorang tokoh penganut kejawen. Anggota-anggota BPUUPK semula 60 orang, kemudian
menjadi 68 orang, dilihat dari sudut perimbangan ideology politik, menurut
pengamatan Prawoto Mangkusasmito, hanya sekitar 20% saja dari jumlah tersebut
yang benar-benar mewakili aspirasi politik kelompok Islam. Sedangkan 80% mewakili aspirasi nasionalisme
yang dalam hal ini adalah kelompok yang tidak mau membawa ideologi Islam dalam
urusan kenegaraan. Sedangkan yang
dimaksud dengan aspirasi politik kelompok Islam adalah diusulkannya Islam
sebagai dasar filsofis Negara yang hendak didirikan. Bagi mereka Islam itu serba lengkap, meliputi
seluruh dimensi kehidupan manusia.
Setelah bergumul selama
lebih kurang 21 hari, akhirnya pada 22 juni 1945 suatu sintesis dan kompromi
politik berhasil diwujudkan antara dua pola pemikiran yang berbeda itu. Sintesis ini yang kemudian dikenal dengan
nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter).
Dalam piagam ini Pancasila diterima sebagai dasar Negara dengan
perubahan letak. Sila ketuhanan
disamping ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama) juga diberi anak kalimat
pengiring: “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. “ Kompromi politik
ini hanya mampu bertahan selama 57 hari, karena demi ‘persatuan bangsa’ anak
kalimat itu dicoret pada tanggal 18 agustus 1945.
Inilah pengkhianatan
pertama kaum nasionalis terhadap ummat Islam di Indonesia yang kemudian
dilanjutkan dengan upaya-upaya marginalisasi, intimidasi, dan tak jarang
dilakukan pembrangusan setiap potensi-potensi kekuatan Islam. Mulai dari pembantaian gerakan DI/ TII – NII
di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan serta
penangkapan pemimpin-pemimpin partai masyumi oleh rezim Sukarno. Kasus Tanjung Priok, Talangsari-Lampung, Haur
Koneng, Sampang dan banyak kasus penculikan dan pembunuhan para ustadz di Banyuwangi,
penangkapan aktivitas Usroh, kasus Imron, Operasi Khusus Ali Murtopo bagi
mantan tokoh-tokoh DI, penerapan daerah operasi militer di Aceh serta banyak
lagi lainnya yang terjadi selama rezim ‘kejawen’ Suharto. Pemerintahan nasionalis selanjutnya (rezim
Habibie dan Abdurrahman Wahid) atas nama demokrasi pun tidak mampu melindungi
darah dan jiwa umat Islam di Aceh, Kupang, Timor-timur, Ambon, Tual, Halmahera,
Sambas, Poso, Sampit kemudian Kapuas; entah mana lagi nanti.
Jelaslah, kaum muslimin
tidak akan dapat hidup tentram selama pemerintahan Islam belum tegak. Selain muslim tidak ada yang dapat dipercaya
untuk memelihara kebebasan aqidah, keadilan, hak dan kemaslahatan. Karena itu, keIslaman seorang muslim selalu
terus menerus terancam bahaya bila berada di bawah pemerintahan kafir. Dan hidupnya terpaksa harus taat kepada
pemerintahan kafir tersebut sampai pada masalah kemaksiatan sekalipun.
Namun ada fenomena ganjil
yang menyimpang, yakni adanya kelompok yang berpendapat bahwa perpecahan ummat yang terjadi
diakibatkan pada pemilihan tataran politik sebagai lahan perjuangan . Kemudian
mengambil sikap apriori terhadap segala sesuatu yang berbau politik .
Ummat tak boleh
berjuang dan bergerak untuk mencita-citakan Negara Islam karena negri seperti
Indonesia hari ini adalah Darul Islam maka pemerintahnya adalah Ulil Amri yang
wajib dita’ati setiap orang beriman sehingga mengkritisi apalagi melawannya
adalah tindakan kelompok Takfiry dan Khawarij . Kita sulit memahami kebengkokan
jalan berfikir mereka , padahal di negri ini pernah ada gerakan DI / TII ( 1949
– 1962 ) yang konon memperjuangkan berdirinya Negara Islam Indonesia tapi
diperangi habis-habisan oleh pemerintahan yang menganut ideologi sama dengan pemerintahan sekarang ini . Pun
dengan wadah yang sama yaitu NKRI ! Artinya , sangat mustahil pemerintahan ini
mau diidentikkan dengan Negara Islam , tapi kenapa kita sibuk mencari – cari
pembenaran syar’i dan menyimpangkan dalil Qur-an dan Sunnah bahwa Indonesia
termasuk Negara Islam ? Astaghfirullah . . . !
Mestinya , kita
berusaha meluruskan pemerintahan yang ada dengan Al Qur-an dan As Sunnah dan
bukan malah membengkokkan dalil untuk mendapatkan kesukaan pemerintah . Karena
pada hakekatnya dengan sikap menjilat seperti itu , justru kita tidak memiliki
belas kasihan kepada diri kita dan orang – orang di pemerintahan . Kalau kita
mengibaratkan negara seperti perahu besar bangsa ini maka nakhkoda dan para
mualimnya harus segera diingatkan akan kesesatan jalan yang ditempuh . Dengan
pengetahuan kita akan dalil , jelas tergambar akibat buruk yang akan diterima
bangsa ini . Wajar kalau kita bodoh dan awam yang tidak mengerti dalil tapi
kalau kita mengaku bahagian dari orang ‘alim dalam ulumuddin namun tidak
mengingatkan mereka , bukankah ini sikap pengkhianatan terhadap ilmu yang Alloh
turunkan ?
Imam Bukhari rohimahulloh meriwayatkan dari Ubadah bin As
Shamit rodhiyallohu ‘anhu tentang baiat kepada pimpinan kaum muslimin :
“Dan agar kami
tidak merampas urusan (kekuasaan) dari yang berhak, Rasulullah saw.
bersabda:
Kecuali bila kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan kalian memiliki
bukti yang kuat di sisi Allah”.
Dengan demikian tidak diperkenankan kaum muslimin memiliki negara
dengan asas selain Islam, baik itu sekularisme, kapitalisme, demokrasi,
sosialisme, komunisme, nasionalisme, atau paham apapun yang bukan Islam. Khalifah
atau Pemimpin yang dibaiat kaum muslimin sebagai kepala negara, wajib
menerapkan syariat Islam sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT yang telah
memerintahkan hal itu dalam firman-Nya:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan". (QS. An-Nisaa' [4]: 65)
Juga firman-Nya:
"Dan
hendaklah kamu hukumi di antara mereka dengan Apa yang turunkan kepadamu. Dan
janganlah kalian mengikuti kemauan mereka. Hati-hatilah terhadap mereka, agar
mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian yang telah diturunkan Allah
kepadamu." (QS.
Al-Maidah [5]:49)
Garis pemisah antara
orang – orang Islam dengan orang – orang musyrik adalah bahwa kaum musyrikin
tidak menentang Rubbubiyatulloh yang mengandung keyakinan Alloh Subhanahu wa
Ta’ala sebagai Pencipta , Pemilik , Penguasa atau apapun yang tersimpul dalam
makna Ar Rabb namun mereka menentang kalau peribadatan ditegakkan hanya untuk
Alloh saja . Dimana hakekat penting peribadatan itu tersimpul dalam dua hal ,
yakni at Tho’ah wat Tahakum ( kepatuhan dan berhukum ) . At Tho’ah dalam
pengertian sebagai sikap setiap individu yang harus mengikatkan diri pada
kepasrahan dan kerendahan di hadapan Alloh Azza wa Jalla sedangkan At Tahakum
adalah sikap manusia sebagai komunitas social dalam berbagai tingkat dan bagian
untuk menjadikan Syari’at Alloh sebagai satu-satunya hukum yang berlaku pada
mereka . Intinya , kita ingin menggambarkan bahwa peribadatan tidak bisa hanya
dianggap sebagai hubungan kepada Al Kholiq semata namun peribadatan juga
mencangkup urusan hidup kebersamaan dalam sebuah masyarakat .
Akal yang waras tidak
akan pernah berfikir bahwa manusia dalam kehidupannya bisa dipisahkan
jatidirinya sebagai individu yang memiliki kepribadian dengan kebersamaannya
dalam sebuah komunitas sosialnya . Walaupun ada perbedaan implikasi hukum pada
wilayah privat dan wilayah publiknya .
Disinilah , keberadaan
pemikiran sekelompok orang yang menganggap ajaran Islam hanya mengatur wilayah
privat dalam aspek hukumnya adalah sebuah penyimpangan dari sebuah kelainan
jatidiri . Sebut saja , orang – orang yang terbaratkan ini , selalu ngotot
dengan cara apapun agar kaum muslimin tidak mengupayakan wujudnya praktek
pengamalan Islam yang komprehensip . Bagi mereka , formalitas apalagi substansi
Diinul Islam dalam kehidupan masyarakat adalah bahaya laten yang harus
disingkirkan . Ada ungkapan sombong dari kelompok sesat ini , bahwa kalangan
yang patuh dalam beragama dan mereka sebut kaum fundamentalis sama sekali tidak
memiliki nalar intelektual sehingga mereka selalu meremehkan orang – orang yang
‘fanatik’ dalam beragama .
Jadi, kalau kelompok
yang merasa paling tahu Islam ( ashabul ilmi wa ahlul haqq ) menuduh para pejuang Syari’at Islam sebagai
kalangan Khawarij dan Ruwaibidhoh ( dangkal dan bodoh dalam memahami Islam )
maka - setali tiga uang – kelompok yang terbaratkan dan merasa paling mengerti
peradaban menuduh pejuang Syari’at Islam sebagai kaum Fundamentalis dan tidak
intelek ( terpelajar ) . Dua kelompok yang sepertinya bertentangan ini bertemu
dalam satu muara kepentingan yakni langgengnya kekuasaan sekuler yang bukan
saja menolak masuknya Diinul Islam dalam praktek kenegaraan tapi juga secara
aktif selalu memerangi ideology Jihad dan kaum Mujahidin .
Maka tak ada jalan lain , para Pejuang
Syari’at harus mengambil jalan untuk menegarakan Islam dengan cara sunnah dan
tidak boleh melanggar batas – batas syar’i
serta tidak takut celaan orang – orang yang suka mencela . Jangan karena
takut celaan dan tuduhan , akhirnya kita kita mengorbankan prinsip – prinsip
Islam demi meraih kursi dan posisi seraya bermimpi sedang mengislamisasi Negara
. Dengan cara terakhir ini , Islam hanya nampak pada aspek kultural tapi sudak kosong dari
substansi , yakni tauhid . Akhirnya ummat Islam membesarkan system bernegara
yang jahiliyah dengan baju Islam . Wallohu A’lam ! (sumber: MAT ed.6)