Selasa, 31 Juli 2012

Tindakan Teror Aparat Kepolisian terhadap warga Ogan Ilir dalam Kasus Perampasan Tanah Rakyat


http://a3.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/603487_3558511851446_969600384_n.jpg
Angga korban penembakan Brimob
OGAN ILIR - Saat rezim orde baru di bawah Jenderal Suharto berkuasa, pada tahun 1982 dengan alasan pembangunan tanah petani di 20 desa dari 6 kecamatan di Ogan Ilir, Sumatera Selatan diambil paksa dan dirubah menjadi perkebunan tebu perusahaan milik negara PTPN VII unit usaha Cinta Manis.
Secara umum proses perampasan tanah rakyat oleh PTPN VII tahun 1982 di setiap desa realtif sama. Di jaman Orde Baru warga tidak memiliki pilihan selain pasrah ketika kebun Karet dan Nanas mereka digusur oleh PTPN VII tanpa ganti rugi yang layak. Proses ganti rugi tahun 1982 diakui warga diwarnai tekanan, intimidasi dan sikap refresif aparat keamanan. Ganti rugi itupun sangat tidak adil, contohnya dari 5 ha lahan, hanya 1 ha saja yang diganti, lebih parah hingga saat ini masih ada tanah warga yang belum diganti rugi oleh pihak PTPN VII. Demikian, sebagaimana dikutip dari laman lembaga yang peduli pada lingkungan hidup Walhi.
Namun sampai dengan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, upaya warga untuk meminta kembali hak mereka atas tanah tersebut tidak membuahkan hasil. Rezim SBY ternyata sama kejamnya dengan Rezim Orde Baru Jendral Suharto.
Berbagai upaya dialog dan mediasi telah ditempuh warga, namun pihak PTPN VII selalu mengulur waktu dan cenderung tidak memberi keputusan yang tegas. Dari luas lahan 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Cinta Manis hanya 6000 ha memilki HGU berlokasi di daerah Burai kecamatan Rantau Alai.
Upaya negosiasi dan usulan mediasi yang disampaikan oleh masyarakat di tolak oleh PTPN VII dan juga Kementerian BUMN ketika terjadi pertemuan di Kantor Kementerian BUMN pada hari Senin tanggal 16 Juli 2012 yang lalu. Pertemuan yang dihadiri oleh Sekretaris Menteri BUMN, Deputy Menteri BUMN Bidang Industri Primer, Direktur Utama PTPN VII, Direksi PTPN VII menolak usulan perwakilan warga yang disampaikan pada pertemuan tersebut.
Hari Selasa, tanggal 17 Juli 2012, sekitar jam 08.30 WIB, Polisi dari Kepolisian Sumatera Selatan mulai dikerahkan untuk datang ke wilayah sengketa di lokasi pabrik gula PTPN VII, di Kabupaten Ogan Ilir. Sejak saat itu Polisi melakukan penangkapan paksa terhadap warga desa, bahkan seorang Ibu dan Bayinya umur 1,5 tahun ditangkap dan dibawa ke markas polisi resort Ogan Ilir pada tanggal 22 Juli 2012 yang baru lalu.
Setiap saat warga desa di teror oleh pasukan Brimob Polda Sumsel, dan dilakukan penangkapan-penangkapan warga desa. Sampai dengan tanggal 26 Juli 2012 sudah 30 warga desa yang ditangkap polisi secara paksa.
Tanggal 27 Juli 2012, sekitar jam 16.00 WIB, terjadi bentrok antara warga dengan polisi karena polisi melakukan tindakan semena-mena di desa Limbung Jaya, Polisi menembakan senjata mereka secara membabi buta sehingga mengakibatkan 1 orang anak berumur 12 tahun (Angga Bin Darmawan) tewas tertembak di kepala saat lari keluar dari game centre karena mendengar keributan.
Saat melihat Angga terjatuh, warga mencoba menolong, tetapi dilarang oleh Polisi. Tembakan serampangan polisi juga mengakibatkan 2 orang perempuan (1 orang berumur 16 tahun bernama Jesica, 1 orang ibu), 1 orang laki-laki bernama Rusman terluka parah, Rusman terkena tembakan disiku kiri tangannya tembus selain itu dan juga alami luka di kepala.
Tindakan Kepolisian Polda Sumatera Selatan sangat tidak manusiawi, demikian juga dengan PTPN VII dan Kementerian BUMN. Pembunuhan terhadap warga negara tanpa alasan yang jelas dan penganiayaan yang dilakukan terhadap warga telah diluar batas pri-kemanusiaan. Sebagai state own company seharusnya PTPN VII bekerja untuk mensejahterakan warga bukan menyengsarakan dan menindas warga. Pimpinan PTPN VII harus bertanggung jawab atas gugurnya korban jiwa akibat kerakusan PTPN VII.
Kekerasan dan pembunuhan ini memperkuat kembali bukti bahwa pendekatan keamanan dengan menggunakan aparat negara menjadi pendekatan utama dalam konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia. Presiden menginstruksi dalam rapat di Kejaksanaan Agung untuk pembentukan Tim Terpadu Konflik Agraria, ternyata tidak memberikan harapan apapun dengan masa depan penyelesaian konflik agraria di Indonesia, dan diperkuat dengan bukti kekerasan pada hari ini jumat (27/7). (berita hukum.com/risalahtauhidnews)



0 komentar:

Posting Komentar